Rabu, 20 Juli 2011

Ekonomi Pancasila Dan Demokrasi Ekonomi (Ekonomi Kerakyatan) Di Tengah Globalisasi


Oleh: Yehezkiel Kristian[1]

Pengantar Penulis

Pada tanggal 19 Juli 2011, penulis dan rekan melakukan diskusi mengenai permasalahan hukum bisnis di Indonesia. Materi yang dibahas pada diskusi tersebut berkenaan dengan persaingan usaha, hukum kompetisi, korporasi, monopoli pasar dan lain sebagainya. Pada diskusi tersebut kami sebagai peserta diberikan kesempatan untuk bertanya mengenai masalah-masalah yang sedang dihadapi. Setelah kami melakukan diskusi (tanya-jawab) saya dan rekan saya Alexander Rizki mulai melakukan diskusi kecil secara pribadi. Dari diskusi kecil tersebutlah muncul sebuah persoalan mengenai sistem ekonomi yang selalu “diagung-agungkan” adalah sistem ekonomi liberal atau kapital yang sebenarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita.
Oleh karena itu kami mulai mendiskusikan hal tersebut dan mengkaitkannya dengan sistem ekonomi pancasila dan sistem demokrasi  ekonomi atau yang kita kenal dengan sistem ekonomi kerakyatan yang jelas-jelas sesuai dengan kepribadian bangsa kita. Pertanyaan yang paling hakiki atau yang paling mendasar dari diskusi kami tersebut adalah: “Apakah pantas Indonesia menerapkan sistem hukum liberal yang notabene tidak sesuai dengan kepribadian bangsa? Padahal secara tegas, bangsa Indonesia sudah mempunyai sistem ekonomi yang sesuai dengan kepribadian bangsa yaitu sistem ekonomi pancasila dan sistem ekonomi kerakyatan? Dan bagaimanakah eksistensi dari sistem ekonomi pancasila dan sistem ekonomi kerakyatan saat ini?”

Oleh sebab itu penulis berusaha mengkaji permasalahan ini dan berusaha mem blow up sistem ekonomi pancasila dan sistem  ekonomi kerakyatan yang sudah mulai “mati”  ini. Selain itu, penulis juga teringat kepada pengajaran dari Dr. Sentosa Sembiring SH., MH yang mengatakan bahwa sistem perekonomian Indonesia yang tradisional (sistem ekonomi pancasila dan sistem ekonomi kerakyatan) adalah sistem ekonomi yang tepat untuk bangsa Indonesia dan telah mampu membuat bangsa Indoneisa bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi yang menimpa negara-negara lain di dunia.
Oleh sebab itu, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Alexander Rizki dan Dr. Sentosa Sembiring SH., MH yang telah memberikan inspirasi (ide) sehingga penulis dapat menulis tentang hal ini.

Globalisasi Dan Permasalahan Sosial

Kata “globalisasi” merupakan kata yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Di era globalisasi ini arus perubahan negara-negara di dunia telah mengarah kepada homogenisasi paradigma kehidupan, yaitu universalisasi liberalisme. Di bidang politik, demokrasi liberal telah menjadi wacana utama; sedangkan di bidang ekonomi, ekonomi neoliberal yang bertumpu pada kapitalisme global menjadi arus utama.
Terkait dengan globalisasi tersebut, Hans Kung dalam bukunya Global Responsibility In Search of A New World Ethic mengungkapkan perlunya merumuskan kembali etos global berupa konsensus mendasar tentang nilai-nilai, norma-norma, dan sikap-sikap tertentu yang dilandasi oleh prinsip humanum sebagai hakikat manusia. Hal itu dilakukan demi kedamaian umat manusia ditengah ancaman globalisasi yang menonjolkan nilai-nilai individualisme dan menggerus nilai-nilai humanisme. Ini merupakan bel pengingat bahwa etika saat ini mengalami gempuran luar biasa dari arus besar nilai-nilai individualisme yang memboncengi persebaran ideologi kapitalisme dan liberalisme. Individualisme yang mengakar dalam kejatian diri manusia disinyalir bisa mendorong akumulasi nilai-nilai dehumanisasi karena semangat egoisme sebagaimana terangkum dalam idiom Betawi “elo-elo gua-gua”. Idiom ini mungkin sering kita dengar dan sudah menjadi hal yang biasa. Akan tetapi, idiom ini sangat berbahaya karena idiom ini secara tidak langsung menjadikan manusia tidak peduli satu dengan yang lainnya dan mau menang sendiri yang lambat laun akan membentuk pola pikir berupa tidak mau memanusiakan sesama manusia lainnya.
Dalam hal ini, penulis hanya akan mengkaji globalisasi dilihat dari sudut pandang globalisasi ekonomi. Globalisasi ekonomi, dapat kita artikan menjadi  2 pengertian yaitu:
Pengertian globalisasi dilihat secara deskripsi/definisi dapat diartikan sebagai proses menyatunya pasar dunia menjadi satu pasar tunggal (borderless market), dan apabila dilihat dari sudut pandang prescription, globalisasi dapat kita artikan sebagai upaya untuk menjadikan ekonomi lebih efisien dan lebih sehat menuju kemajuan masyarakat dunia.

Berdasarkan dua pengertian diatas, kita dapat melihat dengan jelas bahwa globalisasi bukanlah sebuah pilihan yang dapat dihindari artinya tidak ada pilihan lain bagi setiap negara untuk mengikutinya jika tidak mau ditinggalkan atau terisolasi dari perekonomian dunia yang mengalami kemajuan sangat pesat.

Demikian pula dengan Indonesia, Indonesia harus mampu mengikuti perkembangan zaman atau proses globalisasi ini. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana cara bangsa Indonesia mengikuti globalisasi ini. Memang benar globalisasi tidak dapat dielakan bagi bangsa Indonesia akan tetapi apakan bangsa Indonesia harus “mengikuti arus” globalisasi tersebut sampai “kebablasan”?
Apakah bangsa Indonesia akan menggunakan paham Neo-liberalisme? Ataukah akan menggunakan paham-paham lain yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia sendiri misalnya paham ekonomi pancasila atau ekonomi kerakyatan? Dalam tulisan ini, penulis ingin melakukan analisis singkat mengenai ekonomi pancasila ditengah globalisasi dunia.
Pertanyaan mendasar yang ada dibenak penulis saat ini adalah, apakah paham neo-liberal merupakan satu-satunya cara untuk meningkatkan perekonomian didalam era globaliasi  (khususnya bagi Indonesia)? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis ingin mengambil sebuah contoh yang terjadi pada bangsa kita sekitar tahun 1997-1998 yaitu krisis moneter. Seperti kita ketahui bersama bahwa pada tahun 1997 ini dunia mengalami krisis moneter yang sangat berpengaruh pada perekonomian. Ada sangat banyak negara yang mengalami kemerosotan ekonomi, perusahaan-perusahaan besar mengalami kebangkrutan dan lain sebagainya. Akan tetapi, ada sebuah fakta yang sangat mencengangkan yang terjadi ditengah bangsa Indonesia, didalam segala kesusahan krisis moneter tersebut, dikala negara-negara maju “kelabakan” bangsa Indonesia justru tetap bertahan.[2]
Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa bangsa Indonesia bisa bertahan?? Jawabannya adalah karena bangsa Indonesia menggunakan sistem ekonomi pancasila dan sistem ekonomi kerakyatan. Sesuatu yang miris rasanya jika kita melihat situasi dan kondisi saat ini, bangsa kita cenderung “melupakan” sistem ekonomi pancasila dan sistem ekonomi kerakyatan ini padahal keberhasilannya sudah terbukti. Dalam hal ini penulis sengaja menggunakan kata “melupakan” karena tidak dapat dipungkiri keberadaan atau eksistensi dari ekonomi pancasila atau ekonomi kerakyatan ini sudah “tidak dianggap” oleh mayoritas masyarakat Indonesia atau bahkan keberadaannya sudah tidak ada alias sudah mati. Seberapa banyak orang yang mendeklarasikan ekonomi pancasila dan ekonomi kerakyatan? Dimana letak ekonomi pancasila saat ini? Tidak ada! Didalam bidang ilmu pendidikan dan pengetahuan saja misalnya, sangat sedikit universitas atau dosen pada khususnya yang mengajarkan mengenai hal ini. Universitas-universitas saat ini lebih cenderung mengajarkan bahkan mendoktrin bahwa neo-liberallah yang tepat diterapkan bagi bangsa Indonesia.
Kembali kepada krisis moneter tahun 1997, penulis mencoba merumusakan mengapa krisis moneter ini bisa terjadi? Menurut hemat penulis, krisis moneter itu sendiri terjadi karena proses liberalisasi dan globalisasi yang telah dibiarkan berlangsung sampai “kebablasan” dalam hal ini negara-negara dunia menganggap ekonomi kapitalis liberal (sistem pasar bebas ala neoklasik ortodok) adalah satu-satunya sistem ekonomi yang cocok untuk dipakai dan diterapkan. Dengan kata lain, paham-paham seperti inilah yang merupakan “bom waktu” bagi dirinya sendiri.

Sistem Ekonomi Pancasila

Pancasila adalah ideologi yang telah menyatukan bangsa hingga mampu membebaskan Indonesia dari 350 tahun masa penjajahan. Oleh sebab itu Pancasila pastilah dapat diandalkan sebagai sumber ideologi untuk seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk didalamnya mengatur masalah sistem ekonomi nasional.

Sistem ekonomi pancasila merupakan sistem ekonomi yang berlandaskan dan dijiwai spirit nilai-nilai Pancasila. Pandangan sistem ini dapat dilihat dari ide-ide Bung Hatta, salah seorang proklamator RI yang senada dengan pesan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 dan berbasiskan nilai-nilai sosio-religio-budaya masyarakat Indonesia yang berbunyi: 
 “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”
Ekonomi Pancasila itu sendiri merupakan ilmu ekonomi kelembagaan (institutional economics) yang menjunjung tinggi nilai-nilai kelembagaan Pancasila sebagai ideologi tertinggi negara, yang kelima silanya, secara utuh maupun sendiri-sendiri, menjadi rujukan setiap orang Indonesia dalam menjalankan kehidupannya pribadi ataupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika Pancasila mengandung  5 asas, maka semua substansi sila Pancasila terdiri dari:
ü  Etika,
ü  Kemanusiaan,
ü  Nasionalisme,
ü  Kerakyatan/demokrasi, dan
ü  Keadilan sosial.
Jadi, kelima unsur inilah yang harus dipertimbangkan dalam model ekonomi yang disusun. Kalau sila pertama dan kedua adalah dasarnya, sedangkan sila ketiga dan keempat sebagai caranya, maka sila kelima Pancasila adalah tujuan dari Ekonomi Pancasila.
Selain itu, pasal 33 ayat (1) diatas juga menyatakan dengan tegas asas kekeluargaan. Didalam asas kekeluargaan terkandung pengertian demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Jadi, kemakmuran masyarakat jauh lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Hal inipun selaras dengan pancasila sila ke 5 yang bernunyi: “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Dalam hal ini, kita perlu melihat ulang pemikiran Adam Smith yang berjudul The Theory of Moral Sentiments.[3] Di dalam buku ini banyak terdapat ajarannya yang menyatakan bahwa ilmu ekonomi sama sekali tidak bisa lepas dari faktor-faktor etika dan moral. Dalam buku ini, Smith juga mencoba mengembangkan ilmu ekonomi yang tidak saja bermoral namun juga mendesain aspek kelembagaannya. Dari sinilah keberadaan Ekonomi Pancasila paralel dengan pemikiran Smith.
Menurut Boediono (mantan Menkeu RI), sistem Ekonomi Pancasila dicirikan oleh lima hal sebagai berikut:
1)    Koperasi adalah sokoguru perekonomian nasional,
2)    Manusia adalah “economic man” sekaligus “social and religious man”,
3)    Ada kehendak sosial yang kuat ke arah egalitarianisme dan kemerataan sosial,
4)    Prioritas utama kebijakan diletakkan pada penyusunan perekonomian nasional yang tangguh,
5)    Pengandalan pada sistem desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan ekonomi, diimbangi dengan perencanaan yang kuat sebagai pemberi arah bagi perkembangan ekonomi seperti yang dicerminkan dalam cita-cita koperasi secara khusus dan cita-cita nasional secara umum.
Ekonomi Pancasila oleh Mubyarto dalam bukunya Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila dicirikan sebagai berikut:
  1. Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, moral dan sosial.
  2. Ada kehendak kuat dari seluruh anggota masyarakat untuk mewujudkan keadaan kemerataan sosial ekonomi.
  3. Prioritas kebijaksanaan ekonomi adalah pengembangan ekonomi nasional yang kuat dan tangguh, yang berarti nasionalisme selalu menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi.
  4. Koperasi merupakan soko guru perekonomian nasional.
  5. Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara sentralisme dan desentralisme kebijaksanaan ekonomi untuk menjamin keadilan ekonomi dan keadilan sosial dengan sekaligus menjaga efisiensi dan pertumbuhan ekonomi.
Sedangkan sistem Ekonomi Pancasila memiliki empat ciri yang menonjol, yaitu :
  1. Yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah negara / pemerintah. Contoh hajat hidup orang banyak yakni seperti air, bahan bakar minyak / BBM, pertambangan / hasil bumi, dan lain sebagainya.
  2. Peran negara adalah penting namun tidak dominan, dan begitu juga dengan peranan pihak swasta yang posisinya penting namun tidak mendominasi. Sehingga tidak terjadi kondisi sistem ekonomi liberal maupun sistem ekonomi komando. Kedua pihak yakni pemerintah dan swasta hidup beriringan, berdampingan secara damai dan saling mendukung.
  3. Masyarakat adalah bagian yang penting di mana kegiatan produksi dilakukan oleh semua untuk semua serta dipimpin dan diawasi oleh anggota masyarakat.
  4. Modal atau pun buruh tidak mendominasi perekonomian karena didasari atas asas kekeluargaan antar sesama manusia.

Perselingkuhan Ekonomi Pancasila

Meskipun dasar negara Indonesia adalah Pancasila, namun hal ini merupakan selogan belaka. Fakta yang sangat ironis, sistem perekonomian yang selama ini berlangsung tidaklah bersumber darinya. Setelah dicengkeram sistem ekonomi komando di era Orde Lama yang bercorak sosialisme, berikutnya perekonomian Indonesia menganut sistem ekonomi pasar yang bercorak kapitalisme di era Orde Baru. Jeratan kapitalisme pun semakin menguat seiring derasnya paham ekonomi neoliberal yang datang melalui agen-agen kapitalisme global seperti World Bank dan IMF setelah Indonesia mengalami krisis moneter.
Dalam perjalanan republik ini, bisa dikatakan telah terjadi perselingkuhan sistem ekonomi nasional sehingga Pancasila sebagai dasar negara belum sepenuhnya menjiwai sistem perekonomian negara ini, baik oleh aktor eksternal yang dimotori  oleh World Bank dan IMF maupun oleh aktor internal yaitu pemerintah melalui serangkaian kebijakan ekonominya yang bersifat neoliberal dan kalangan intelektual ekonomi dengan pemikiran-pemikirannya.
Dalam prakteknya, menurut Mubyarto,[4] terdapat 3 pandangan yang berperan memperparah marginalisasi Ekonomi Pancasila, yaitu:
1)    Bersifat parsial dalam mengajarkan ajaran ekonom klasik Adam Smith. Konsep Smith tentang Manusia Sosial (manusia sebagai homosocius),  dilupakan atau tidak diajarkan, sedangkan ajaran berikutnya pada tahun 1776 (manusia sebagai homoeconomicus) dipuja-puji secara membabi buta.
2)    Metode analisis deduktif dari teori ekonomi neoklasik diajarkan secara penuh, sedangkan metode analisis induktif diabaikan. Hal demikian bertentangan dengan pesan Alfred Marshall dan Gustave Schmoller, dua tokoh teori ekonomi neoklasik, untuk memakai dua metode secara serentak laksana dua kaki.
3)    Ilmu ekonomi menjadi spesialistis dan lebih diarahkan untuk menjadi ilmu ekonomi matematika. Menurut Kenneth Boulding dalam Economic as A Science, ilmu ekonomi dapat dikembangkan menjadi salah satu atau gabungan dari cabang-cabang ilmu berikut:
·         ekonomi sebagai ilmu sosial (social science);
·         ekonomi sebagai ilmu ekologi (ecological science);
·         ekonomi sebagai ilmu perilaku (behavioral science);
·         ekonomi sebagai ilmu politik (political science);
·         ekonomi sebagai ilmu matematika (mathematical science);
·         ekonomi sebagai ilmu moral (moral science)
Jadi, berdasarkan pemaparan diatas, ilmu ekonomi atau sistem ekonomi neo-liberal atau sistem ekonomi kapital atau apapun itu namanya yang saat ini banyak dilaksanakan atau diterapkan di dunia merupakan sistem ekonomi yang “ngawur” karena sudah melupakan hakekat dari ilmu ekonomi itu sendiri sebagaimana disebutkan diatas.

Revolusi Mewujudkan Ekonomi Pancasila

Tanggal 12 Agustus 2002 UGM mendirikan PUSTEP (Pusat Studi Ekonom Pancasila) yang kemudian disambut pembentukan Komisi Ad Hoc Kajian Ekonomi Pancasila pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Pendirian PUSTEP-UGM ini kemudian diikuti pembentukan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PSEK) di Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa tanggal 16 Agustus 2003 semuanya berkehendak menyumbangkan teori-teori dan ilmu ekonomi (asli) Indonesia yang benar-benar memberi manfaat pada masyarakat/ bangsa Indonesia khususnya masyarakat kelas bawah.
Ekonomi Pancasila bukanlah sistem ekonomi baru yang masih harus diciptakan untuk mengganti sistem ekonomi yang kini “dianut” bangsa Indonesia. Bibit-bibit sistem ekonomi Pancasila sudah ada dan sudah dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Indonesia terutama pada masyarakat perdesaan dalam bentuk usaha-usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Adapun mengapa praktek-praktek kehidupan riil dan kegiatan ekonomi rakyat yang mengacu pada sistem ekonomi Pancasila ini tersendat-sendat, alasannya jelas karena politik ekonomi yang dijalankan pemerintah bersifat liberal dan hanya berpihak pada konglomerat atau pihak-pihak tertentu saja.

Ketika terjadi krisis moneter 1997-1998, meskipun keberpihakan pemerintah pada konglomerat belum hilang, tetapi gerakan ekonomi kerakyatan yang dipicu semangat reformasi memberikan iklim segar pada berkembangnya sistem ekonomi Pancasila yang berpihak pada ekonomi rakyat.
Pembentukan PUSTEP UGM tepat waktu untuk mengisi kevakuman sistem ekonomi nasional, ketika sistem ekonomi kapitalis liberal di Indonesia sedang digugat, dan sistem ekonomi kerakyatan sedang mencari bentuknya yang tepat dan operasional. Sistem ekonomi kerakyatan merupakan sub-sistem dari sistem ekonomi Pancasila yang diragukan dan tegas-tegas ditolak oleh teknokrat “keblinger”, yang begitu silau dengan sistem ekonomi kapitalis liberal dari Barat (Amerika). PUSTEP UGM bertekad melakukan kajian-kajian kehidupan riil (real life) sehingga dapat membakukan ilmu ekonomi tentang kehidupan riil (real-life economics) dari masyarakat/bangsa Indonesia.
Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang  diusulkan itu menjadi satu realiteit dibutuhkan suatu upaya yang keras yaitu harus tetap berjuang. Kita jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia kita sudah merdeka. Sesungguhnya bangsa kita belum merdeka dan ini artinya perjuangan kita belum berakhir. Di dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia, kita harus tetap berjuang agar semangat pancasila dapat dimanifertasikan dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya bagi sistem perekonomian nasioal.
Jika Ahmad Syafii Ma’arif dan Franz Magnis-Suseno di dalam Seminar “Meluruskan Jalan Reformasi”, mengibaratkan bangsa Indonesia sudah mendekati “jurang kehancuran”, maka reformasi lebih-lebih yang bersifat tambal-sulam jelas tidak akan memadai. “Kapal” Indonesia harus dibalikkan arahnya. Itulah revolusi bukan sekedar reformasi.
Kompleksitas krisis multidimensi sekarang dan beratnya beban kesulitan mengatasi dan mengakhirinya membuat tekad membangun masa depan harus diwujudkan dalam tindakan-tindakan besar dan inisiatif tingkat tinggi. Tindakan besar yang dimaksud adalah suatu tindakan fundamental, yang secara moral setara dengan revolusi, atau bahkan perang. Justru inilah suatu bentuk nyata yang tidak menuntut pengorbanan pertumpahan darah, tetapi menuntut pengorbanan melawan egoisme dan subjektivisme, suatu bentuk pengorbanan psikologis. Perjuangan ini adalah jenis perjuangan berat melawan diri sendiri, suatu perjuangan yang memerlukan keberanian menyatakan apa yang benar walaupun pahit karena bertentangan dengan kepentingan pribadi atau kelompok-kelompok tertentu.

Demokrasi Ekonomi (Ekonomi Kerakyatan)

Selain globalisasi, yang menjadi permasalahan di Indonesia adalah masih maraknya masalah-masalah sosial misalnya kemiskinan, pengangguran, ketidak merataan pembangunan dan lain sebagainya. Kondisi yang demikian tidak lepas dari pembangunan ekonomi yang erat hubungannya dengan sistem perkonomian yang dianut suatu negara.
Ahmad Syafii Ma’arif dan Franz Magnis-Suseno sangat sering berbicara tentang tentang kerusakan bangsa Indonesia yang “hampir sempurna”. menurutnya, krisis ekonomi  dewasa ini sudah amat parah, yang apabila terus dibiarkan pasti akan mengakibatkan kebangkrutan perekonomian nasional.

Tidak dapat dipungkiri, kerusakan atau krisis ekonomi dewasa ini tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah kurs dolar yang masih tinggi, banyaknya bank yang masih belum mengucurkan kredit ke sektor riil, dan pemerintah terperangkap dalam beban utang baik dalam negeri maupun luar negeri yang sangat berat. Selain beberapa faktor diatas, menurut pakar-pakar ekonomi makro Indonesia, keadaan demikian disebabkan pula karena  belum adanya investasi terutama investasi asing yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi rendah. Mereka beranggapan bahwa apabila pertumbuhan ekonomi hanya ditopang oleh konsumsi maka pertumbuhan ekonomi tidak akan berkelanjutan. Namun, kita harus mempertanyakan kebenaran dari pendapat mereka. Apakan benar demikian?


Seringkali, diagnosis ekonomi yang bersifat pesimistik masih jauh lebih kuat dibanding diagnosis optimistik, karena pada umumnya pakar-pakar ekonomi Indonesia lebih banyak menggunakan data-data makro sekunder dan tersier di bidang keuangan. Sebaliknya data-data mikro sektor ekonomi rakyat, yang memang tidak tercatat dalam statistik, tidak pernah masuk dalam perhitungan. Inilah yang oleh para ekonom makro yang “keblinger” disebut dengan ekonomi illegal atau hidden economy. Namun pada kenyataannya, justru data-data mikro sektor ekonomi rakyat inilah yang menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Perlu penulis tekankan pula bahwa salah satu faktor Indonesia tetap bertahan menghadapi krisis ekonomi 1997 adalah karena pertumbuhan ekonomi kerakyatan ini.
Misalnya saja, selama 1995-2002 kredit yang disalurkan Perum Pegadaian meningkat dengan 5,6 kali (560%), dan jumlah orang yang menggadaikan (nasabah) naik 368%. Di Yogyakarta, anggota KOSUDGAMA (Koperasi Serba Usaha Dosen-dosen Gadjah Mada) yang kini beranggota 5332 orang (74% diantaranya anggota luar biasa, bukan dosen UGM), anggotanya meningkat lebih dari 5 kali lipat selama periode krisis (1998-2002), dengan nilai pinjaman meningkat 11 kali lipat (1116%) dari Rp. 1,04 milyar menjadi Rp. 11,57 milyar. Satu Baitul Maal (BMT Beringharjo) di kota Yogyakarta dalam periode relatif singkat (1995-2002) telah meningkat omset pinjamannya dari Rp. 50,9 juta menjadi Rp. 5,2 milyar dengan anggota naik dari 393 menjadi 1333. Selain itu Koperasi Bina Masyarakat Mandiri yang didirikan 28 “orang gila” tanggal 28 Oktober 1998 di Jakarta, telah membantu 24.873 penduduk miskin di seluruh Indonesia dengan pinjaman Rp. 39 milyar, padahal pada tahun 1999 baru Rp. 440 juta untuk 917 orang.
Ekonomi rakyat di manapun di daerah-daerah benar-benar sudah bangkit, tidak sekedar menggeliat. Usaha-usaha ekonomi rakyat yang disebut (meskipun tidak tepat) sebagai UKM (Usaha Kecil Menengah) berkembang di mana-mana dengan pendanaan mandiri atau melalui dana-dana keuangan mikro seperti pegadaian, koperasi atau lembaga-lembaga keuangan mikro “informal” di perdesaan.
Jadi, demokrasi ekonomi tidak kalah pentingnya dengan demokrasi politik. Jika Indonesia telah melakukan proses demokratisasi politik semenjak era transisi-reformasi ini, apakah hal yang sama juga berlaku dalam proses demokratisasi ekonomi? Demokrasi ekonomi merupakan bentuk ekonomi sosialis religius. Disebut sosialis karena berlandaskan pada Pasal 33 UUD 1945 yang dijiwai roh sosialisme dengan adanya kepemilikan faktor-faktor produksi hajat hidup orang banyak oleh negara dan dengan adanya asas kebersamaan yang melandasi kegiatan perekonomian seperti sudah dijelaskan diatas. Namun, tidak hanya sosialis, demokrasi ekonomi yang ditawarkan Bung Hatta juga bercorak religius karena dijiwai oleh Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa tidak ada satupun agama di dunia yang mengajarkan kepada pemeluknya untuk menomorsatukan individualisme. Dengan demikian, pelaksanaan demokrasi ekonomi memiliki basis ontologis pada tradisi komunalisme yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat yang berketuhanan dan beragama di nusantara.
Mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, ada tiga unsur demokrasi ekonomi yaitu aspek produksi, aspek distribusi, dan aspek kepemilikan usaha bersama oleh rakyat. Adapun garis besar substansinya dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional menempati kedudukan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal itu sejalan dengan bunyi Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Kedua, partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap anggota turut serta menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin dan anak-anak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Wujud kongkrit dari demokrasi ekonomi yaitu dengan tersedianya sistem jaminan sosial nasional yang mencakup kaum fakir miskin dan anak-anak terlantar.
Ketiga, kegiatan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya, dalam rangka perwujudan demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak boleh hanya menjadi obyek, namun harus diupayakan agar menjadi subyek perekonomian.
Untuk menjadi subyek perekonomian, maka tak ayal lagi perlu adanya partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam kepemilikan modal atau faktor-faktor produksi nasional, diantaranya modal material (material capital), modal intelektual (intellectual capital), dan modal institusional (institutional capital). Di sini negara wajib secara terus menerus mengupayakan terjadinya peningkatan kepemilikan ketiga jenis modal tersebut secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat.
Sehubungan dengan modal material, negara wajib melindungi dan mendistribusikan kepemilikan modal material secara relatif merata di antara anggota masyarakat. Misalnya dengan pelaksanaan agenda landreform yaitu pembatasan penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap. Hal ini sesuai dengan amanat Ayat 3 Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA 1960 bahwa negara berhak mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan lahan pertanian bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sehubungan dengan modal intelektual, negara wajib menyelenggarakan pendidikan nasional secara cuma-cuma. Hal ini sesuai dengan tujuan negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Disinilah letak pentingnya arti bahwa pendidikan bukanlah sebuah kegiatan untuk dikomersialkan.
Sementara itu, sehubungan dengan modal institusional, secara khusus hal itu diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” Kemerdekaan anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat tersebut tentu tidak terbatas dalam bentuk serikat-serikat sosial dan politik, tetapi meliputi pula serikat-serikat ekonomi. Dengan demikian tidak ada alasan bagi negara untuk melarang keberadaan serikat buruh, serikat tani, serikat nelayan, serikat usaha kecil-menengah dan berbagai serikat ekonomi lainnya, termasuk mendirikan koperasi.
Berdasarkan pemaparan teori dan data diatas, dapat disimpulkan bahwa kondisi “amat gawat” yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini selain terletak dalam bidang ekonomi khususnya sistem ekonomi yang terlalu neo liberalis seperti sudah dijelakan diatas dan mengabaikan sistem ekonomi kerakyatan, faktor lain yang sangat mempengaruhi keterpurukan perekonomian di Indonesia adalah faktor politik, hukum, dan moral.

Korupsi dan penyelundupan misalnya, korupsi yang makin merajalela yang “menyebar” dari pusat ke daerah-daerah bersamaan dengan pelaksanaan otonomi daerah bukanlah “krisis ekonomi” tetapi krisis moral yang sangat mempengaruhi perekonomian nasional.
Kerusakan ekonomi bangsa memang hampir sempurna atau sangat parah, tetapi sebenarnya hal ini tidak berlaku bagi ekonomi rakyat karena pada faktanya justru ekonomi kerakyatan inilah yang menopang dan bisa terhindar dari segala permasalahan yang timbul. Yang mengalami kerusakan adalah sistem ekonomi yang menggunakan sistem ekonomi neo-liberal dan kapital, yang mengalami kerusakan adalah sistem ekonomi yang terlalu mengandalkan pada modal asing yang murah, yang mengalami kerusakan adalam para konglomerat yang mengandalkan pinjaman dari midal asing tetapi setelah terjadi apresiasi dolar 6 kali lipat secara tiba-tiba maka konglomerat-konglomerat tersebut telah benar-benar hancur berkeping-keping.

Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang demokratis, menunjuk pada asas ke-4 Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dimana ekonomi rakyat mendapat dukungan pemihakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Bahwa sejauh ini pakar-pakar ekonomi arus utama menolak konsep ekonomi kerakyatan, bahkan juga ekonomi kekeluargaan, yang hendak digusur dari pasal 33 UUD 1945, adalah karena mereka secara a priori menganggap ekonomi kerakyatan bukan sistem ekonomi pasar, tetapi dituduh sebagai sistem ekonomi “sosialis-komunis” ala Orde Lama 1959-1966. Pandangan dan pemihakan mereka pada konglomerat yang liberal-kapitalistik memang amat sulit diubah lebih-lebih setelah (istilah mereka) ”Uni Sovyet pun kapok dengan sosialisme, dan RRC juga sudah menjadi kapitalis”. Sudah pasti mereka “keblinger” karena paham sosialisme tidak pernah mati, dan ekonomi RRC tumbuh cepat bukan karena meninggalkan paham sosialisme tetapi karena amat berkembangnya ekonomi rakyat. Ekonomi Indonesia akan tumbuh cepat seperti ekonomi RRC jika mampu mengalahkan virus korupsi yang tumbuh subur sejak awal gerakan reformasi yang telah benar-benar melenceng.
Bertolak dari uraian diatas, dapat dimengerti bahwa tujuan utama ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian dan hal demikian bisa dilakukan jika ada iktikad bersama untuk mendemokratisasikan proses produksi, proses distribusi, dan kepemilikan faktor produksi nasional sehingga kondisi demokrasi ekonomi pun tercapai.

Demokrasi Ekonomi VS Ekonomi Neoliberalisme

Sebuah pertanyaan reflektif dimunculkan, ditengah-tengah pusaran sistem ekonomi neoliberal yang ditandai oleh dominasi kekuatan kapitalisme global seperti saat ini, bagaimana mungkin demokrasi ekonomi melalui ekonomi kerakyatan dapat diwujudkan?
Inilah sebuah perjuangan tiada henti. Bukan hanya pertentangan antara mazhab ekonomi, namun sebuah pertarungan ideologi. Yaitu ekonomi kerakyatan versus ekonomi kapitalisme neoliberal. Antara komunalisme dan demokrasi rakyat versus individualisme dan oligarki kaum pemodal. Antara pandangan homo homini socius versus homo homini lupus. Dan meminjam istilah Bung Hatta, ini adalah pertarungan antara paham Daulat Rakyatku versus Daulat Tuanku.
Semakin maju perkembangan peradaban manusia yang ditandai dengan revolusi teknologi dan informasi justru diikuti dengan semakin banyaknya kontradiksi dalam kehidupan. Inilah sebuah paradoks di era globalisasi ini. Arah perkembangan dunia yang semestinya kian menghargai keunikan dan kekhasan berbagai negara yang heterogen justru mendekati proses homogenisasi dengan kemanunggalan kekuasaan di tangan AS sebagai polisi dunia. Kampanye demokrasi politik yang disuarakan ke segala penjuru dunia justru dilaksanakan secara tidak demokratis oleh AS dan sekutunya, seperti kasus invasi ke Afganistan (2001) dan Irak (2003). Begitupun, pentingnya demokratisasi politik bagi negara dunia ketiga yang selalu disuarakan oleh badan donor asing seperti IMF dan Bank Dunia sebagai persyaratan pengucuran kredit atau bantuan asing justru diiringi dengan proses pengebirian potensi demokrasi ekonomi negara bersangkutan dengan adanya deregulasi dan liberalisasi kepemilikan faktor produksi nasional untuk kemudian dikuasai (alias dijajah) oleh kaum kapitalis. 

Melihat realitas diatas seakan tipis kemungkinan mewujudkan sistem demokrasi ekonomi yang bersifat sosialis religius ditengah kian menguatnya sistem ekonomi neoliberal yang kapitalistik dan sekuler di Indonesia. Terlebih setelah ketidakmandirian ekonomi dan politik Indonesia di tengah pergaulan dunia internasional akibat krisis finansial yang memaksa Indonesia bertekuk lutut di tangan kaum pemodal asing.
Namun secercah harapan perlu dimunculkan. Masih ada optimisme yang bisa diandalkan. Ada dua pola agenda untuk mewujudkan demokrasi ekonomi di Indonesia. Pertama, agenda evolusioner yang bersifat kultural yaitu berupa kampanye, penyebarluasan gagasan, dan bahkan mungkin indoktrinasi pandangan ekonomi kerakyatan melalui sarana pendidikan nasional, lembaga keagamaan, pergerakan koperasi, dan media massa yang terbebas dari pengaruh hegemoni ideologi kapitalisme. Kedua, agenda revolusioner yang bersifat struktural yaitu perombakan dan perubahan sistem perekonomian nasional dengan mereview segala perundang-undangan dan peraturan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila untuk kemudian digantikan dengan kebijakan-kebijakan nasional yang populis dan pro-rakyat. Revolusi paradigmatik yang melahirkan revolusi kebijakan publik ini hanya memerlukan kemauan dan keberanian pemerintah nasional untuk melakukannya. Sebagian besar masyarakat Indonesia, yang meminjam istilah Bung Karno adalah masyarakat Marhaen yang menjadi korban dari penindasan sistem kapitalisme selama ini, tentu akan berdiri dibelakang pemerintah untuk melawan dominasi kapitalisme asing dan para komprador-nya di Indonesia.
Sudah saatnya upaya demokratisasi ekonomi dilakukan sejalan dengan proses demokratisasi di bidang politik yang telah dialami Indonesia belakangan ini. Sehingga pada saat satu abad Indonesia merdeka, 17 Agustus 2005 nanti, Indonesia mampu berdiri tegak di tengah dunia internasional sebagai negara kampiun demokrasi politik maupun ekonomi dengan berlandaskan pada religiusitas berketuhanan dan beragama. Inilah mimpi yang harus diwujudkan, tentu tidak hanya dengan kata-kata dan retorika namun harus dengan tindakan dan aksi untuk sebuah:  revolusi menuju demokrasi ekonomi Indonesia!

Kesimpulan

Sebagai sebuah gagasan besar, Ekonomi Pancasila sebagai sistem ekonomi bukan-bukan, bukan kapitalisme juga bukan sosialisme, menawarkan harapan berupa sistem perekonomian alternatif yang bersifat komprehensif integral bagi jutaan masyarakat Indonesia demi mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945.
Dalam konteks inilah kemudian diperlukan adanya reformasi tidak saja dalam tataran implementasi kebijakan perekonomian selama ini, namun juga transformasi pola pikir dari ekonomi neoliberal yang dominan untuk menjadi lebih berkemanusiaan dan berkeadilan sosial yang dijiwai nilai-nilai Pancasila. Bukan hal yang mustahil jika kelak istilah Hattanomics menjadi ikon Ekonomi Pancasila dan bisa menggeser dominasi perspektif Reagenomics dan Thatcherisme- ikon utama gagasan Ekonomi Neoliberal.
Demikian pula dengan serangan globalisasi dan segala permasalahan sosial yang timbul, kita tidak perlu takut lagi  selama kita setia menggunakan Pancasila sebagai ideologi pegangan kehidupan bangsa. Sistem ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi moralistik, manusiawi, nasionalistik, dan kerakyatan, yang telah terbukti mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jadi, jika kita mengaku negara yang berdasarkan pancasila, aturan main yang dipakai adalah harus sistem ekonomi pancasila. Aturan main inilah yang harus kita pakai sebagai pegangan dalam seluruh hubungan-hubungan ekonomi dengan kepentingan-kepentingan ekonomi luar negeri dan bukan menggunakan aturan masin dari Negara barat yang notabene tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.

Referensi

  1. Tulisan Prof. Dr. Mubyarto – Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM.
  2. Makalah untuk diskusi terbatas PUSTEP-UGM dan FORTAGAMA, 17 Januari 2003
  3. Sumber-sumber lainnya.


[1] Mahasiswa Fakultas Hukum UNPAR
[2] Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa perekonomian Indonesia tidak mengalami keguncangan yang sangat besar jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia.
[3] Buku ini merupakan buku sebelum ia menulis buku Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of Nations yang kemudian menjadi “kitab suci” ideologi kapitalisme.
[4] Kepala PUSTEP UGM